Terkadang
atau sering dalam hidup, kita berusaha memaafkan tindakan kita atau
kata lainnya melegalisasikan perbuatan kita. Maksudnya, kita mengatakan
perbuatan kita benar dengan dalih yang berusaha kita cari kebenarannya.
Sebagai contoh, ketika kita menunda melaksanakan sholat ketika adzan
berkumandang, maka kita berdalih “Saya harus menyelesaikan tugas,
bukankah kerja juga ibadah….?” atau “Saya harus mengasuh anak dulu,
bukankah ini juga ibadah?” dan lain sebagainya sehingga begitu pintarnya
kita mendapatkan alasan yang seolah alasan kitalah yang paling benar.
Atau cerita lain seperti seorang pencopet atau pelacur yang melegalkan
usahanya demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan
alasan mencari nafkah merupakan ibadah…!?
Akhir-akhir
ini saya banyak menemui fenomena, yang membuat saya berasumsi bahwa
kadang seseorang tidak faham ilmu yang sedang dipelajarinya. Untuk apa
ilmu itu digunakan? Akan bagaimana bila mengamalkan ilmu itu? Fenomena
klasik, tapi tetap membuat saya tidak habis fikir.
Belajar,
mencari ilmu kadang di jadikan formalitas belaka. Karena prestise,
harga diri, atau bahkan desakan dari pihak orang lain, orang tua, suami,
istri, atasan di kantor, misalnya. Pada akhirnya ilmu tidak mengkristal
di dalam diri. Tidak meninggalkan bekas. Bahkan mungkin, tidak
menjadikan diri lebih baik. Terdengar skeptis? Ya, bisa jadi.
Ilmu
kadang hanya di ukur dari gelar-gelar yang berderet panjang pada nama.
Di ukur dari jumlah koleksi buku. Di ukur dari jumlah biaya yang
dikeluarkan. Diukur dari image sebuah kampus. Entah apakah bisa ilmu itu
di jadikan manfaat , bahkan pada dirinya sendiri. Masih bisa di hitung
dengan jari orang-orang yang benar-benar konsekuen dan bertanggung jawab
dengan ilmu yang di milikinya.
Orang
yang berilmu memang sangat kelihatan berbeda dengan dengan orang yang
beruang, orang kaya tanpa disertai ilmu hanya akan disegani sejenak,
tapi orang kaya disertai ilmu akan terus disegani meskipun kekayaannya
habis, karena ilmunya telah menghiasi perbuatannya serta tingkahlakunya.
Ilmu berbeda dengan Pengetahuan.
Orang yang berilmu adalah orang yang mengaplikasikan ilmu yang ia
dapatkan dalam kehidupannya. sedangkan orang yang berpengetahuan hanya
akan memiliki pengetahuan tentang keilmuan tanpa adanya tindakan
sehingga ilmu yang ia miliki tidak tercermin dalam tingkah lakunya.
Dari penomena di atas sepintas orang sudah memperoleh “Ilmu”, tapi hakikatnya baru memperoleh “Pengetahuan” saja
Didalam
melihat jalan hidup masyarakat di sekitar kita, bisa kita lihat bahwa
beberapa orang mempunyai kecenderungan tertentu. Orang yang terbiasa
berbuat maksiyat, maka dari hari kehari dia akan semakin terjerumus
kedalam lembah yang hitam. Sebaliknya orang yang suka sholat berjamaah
ke masjid, maka dia akan ramah ke tetangganya, rutin berinfaq dan
bahagia kehidupan keluarganya.
Semakin
seseorang memperbanyak dan membiasakan berbuat baik, maka semakin
banyak terbuka pintu-pintu kebaikan yang lain. Hal ini sesuai dengan
hadits qudsi diatas bahwa semakin tinggi intensitas dan kualitas ibadah
kita kepada Allah SWT maka semakin dekatlah kita dengan-Nya.
Salah
satu kunci kesuksesan hidup kita adalah bagaimana kita membiasakan
berbuat baik. Semakin kita terbiasa berbuat baik, maka semakin mudah
jalan kita untuk mencapai kebahagiaan hidup. Agar manusia terbiasa
beribadah, maka beberapa ibadah dilakukan berulang dalam kurun waktu
tertentu seperti sholat lima kali dalam sehari, puasa sunnah dua kali
seminggu dan sholat jum’at sekali sepekan.
Permasalahan
awal yang biasanya ditemukan dalam melakukan sesuatu yaitu dalam
memulainya. Memulai suatu aktifitas terkadang lebih berat dibandingkan
ketika melaksanakannya. Maka ketika kita mendorong mobil yang mogok,
akan diperlukan tenaga yang besar saat sebelum mobil bergerak. Setelah
mobil tersebut bergerak, diperlukan daya dorong yang kecil. Ada juga
sifat kita yang menunda perbuatan baik, padahal perbuakan baik janganlah
ditunda. Kalau kita ada keinginan untuk menunda, maka tundalah untuk
menunda. Hal ini seperti yang disampaikan Rasulullah saw:
“Bersegeralah
untuk beramal, jangan menundanya hingga datang tujuh perkara. Apakah
akan terus kamu tunda untuk beramal kecuali jika sudah datang:
kemiskinan yang membuatmu lupa, kekayaan yang membuatmu berbuat melebihi
batas, sakit yang merusakmu, usia lanjut yang membuatmu pikun, kematian
yang tiba-tiba menjemputmu, dajjal, suatu perkara gaib terburuk yang
ditunggu, saat kiamat, saat bencana yang lebih dahsyat dan siksanya yang
amat pedih.” (HR. Tirmidzi)
Salah
satu cara untuk mempermudah kita dalam memulai suatu amal ibadah adalah
dengan mengetahui akan besarnya manfaat yang akan dirasakan. Segala
hambatan atau godaan untuk tidak melaksanakan kebaikan tersebut akan
bisa dilewatkan dengan keyakinan yang kuat. Oleh sebab itu, kita wajib
untuk mencari ilmu tentang fadhilah (kelebihan) dari suatu amalan atau
ibadah. Bahkan untuk menguatkan hati, kita juga perlu mencari ilmu
secara berulang kali. Bahkan beberapa pengulangan dalam Al Quran
digunakan agar manusia semakin ingat.
Jadi,
mulailah perbuatan baik yang ingin anda lakukan sekarang dan jangan
ditunda. Kalau belum yakin, perluas dan perdalam ilmu agar kita semakin
yakin.
Ilmu, pada hakikatnya dapat merubah seseorang. Dari pola berfikir, sikap, hingga merubah diri orang tersebut.
Iman, Ilmu, Amal. Sebuah trilogi yang tidak dapat di pisahkan. Saling terkait.
Iman tanpa ilmu, sesat. Ilmu tanpa Amal, sesat. Amal tanpa ilmu, taklid.
Akhirnya
semoga kita dapat menjadi orang berilmu dan bermanfaat. karena dengan
ilmu terangkatlah derajat dan dengan pengabdian menjadilah orang
bermanfaat.
SUMBER : http://smk6bandung.com/?p=628